Tentang Komik Yang Menggemaskan, Yang Unik Dan Yang Cerdas

by - 4/08/2009 01:24:00 PM



Di awal 1990-an, Indonesia dibanjiri oleh komik-komik Jepang. Ini terjadi lama setelah masa kejayaan Godam dan Gundala Putra Petir surut di tahun 1970-an. Toko-toko dan tempat persewaan buku dipenuhi cerita bergambar impor dari negeri matahari terbit itu. Komik-komik yang hadir menyajikan tidak saja adegan laga yang diwakili oleh Chinmi, Kenji, Saint Seiya, atau Tiger Wong; tapi juga komik untuk kalangan "abege" (anak baru gede) yang sedang mekar-mekarnya, seperti Candy-Candy atau juga komik jenaka seperti Kobo Chan. Dengan demikian komik buatan negeri kita sendiri makin tenggelam. Karena, sebelum komik Jepang melakukan ekspansi, komik Barat telah lebih dulu bercokol dan cukup punya penggemar fanatik, misalnya seri Walt Disney, lalu Asterix, Trigan, Si Janggut Merah, Tanguy & Laverdur, Tintin, dan masih banyak lagi lainnya. Belum lagi bila dihitung pula komik yang dimuat bersambung seperti Tarzan di harian Suara Merdeka, Garth di harian Kompas, yang masih bertahan sampai sekarang.


Seperti biasanya, muncullah suara-suara "nasionalis" yang menyayangkan mewabahnya komik asing. Yang mempertanyakan mengapa kita tidak memilih komik kita sendiri? Mengapa kita justru bangga dengan para pahlawan dari negeri-negeri (bekas) penjajah? Padahal komik kita tidak kalah bagusnya. Jangankan komik asing, komik kita sendiri pun pernah mengalami perlakuan yang kurang menyenangkan: pernah dituduh sebagai biang kemalasan dan merusak jiwa anak. Jadi wajar belaka bila komik asing lebih dikecam meski dalam kenyataan ternyata sangat disukai. Dan rasanya sulit menemukan seorang bocah yang jiwanya rusak karena komik asing.

Bagaimanapun pro dan kontra seputar merebaknya komik asing memang ada. Tapi bagaimanakah kondisi obyektif percaturan komik di negeri ini? Dari pengamatan di beberapa toko buku Yogyakarta yang terkemuka dan persewaan buku, memang komik asing lebih terhormat kedudukannya. Bahkan beberapa teman saya menyatakan bahwa komik asing lebih bagus. Lalu komik Indonesia? Jawabannya juga sama tidak mengejutkannya: jelek, kering, tidak menarik, terlalu menggurui. Boleh jadi pendapat tersebut belum tentu benar, apriori, karena ada yang belum pernah membaca komik Indonesia. Juga mungkin anggapan seperti itu adalah cerminan dari generasi yang kurang menghargai karya bangsa sendiri? Namun bagaimanapun, anggapan yan terlontar itu adalah fakta. Dan itu bisa dicari penjelasannya.

Meski tidak enak, tindakan membandingkan komik Indonesia dan komik asing tetap perlu dilakukan. Dari situ barangkali bisa diketahui sejauh mana ketertinggalan (buatan orang) Indonesia. Dalam tulisan ini saya akan melihat segi isi cerita, visualisasi dan beberapa faktor lain yang mempengaruhi.

Isi cerita dan penampilan
Komik Indonesia sebagian besar henyalah merupakan khotbah bergambar. Penuh petuah-petuah verbal ini-itu. Pesan yang ingin disampaikam pun terlalu hitam putih, penuh semangat lokal yang dibuat-buat sehingga menimbulkan rasa risih bagi pembaca dewasa dan membosankan bagi anak-anak. Anak-anak mempunyai dinamika yang berbeda dengan yang dimiliki orang tua mereka. Dahulu komik seperti Mahabharata yang konon penuh ajaran mulia, cerita-cerita sejarah yang hebat lagi perkasa boleh jadi sangat disukai. Bahkan pernah mencapai kejayaan dengan penjualan yang lumayan mengagumkan. Namun bila di tahun 1993 salah satu penerbit komik menyatakan bahwa tak ada lagi pencetakan komik lokal, itu adalah pertanda yang tak bisa diingkari bahwa anak-anak pembaca komik lainnya menolak kehadiran komik semacam itu. Semakin mulus saja laju komik impor.

Saratnya beban dan kurang lincahnya imajinasi komik Indonesia berakibat parah karena kebanyakan komik Indonesia mengambil tema kepahlawanan, dongeng rakyat serta epos kuno. Tema-tema tadi tentu saja punya pakem yang susah sekali ditekuku-tekuk. Sementara anak-anak masa kini relatif tidak punya ikatan emosional dengan cerita-cerita macam itu. Dan cerita kepahlawanan, sejalan dengan kehendak penguasa untuk mewariskan semangat yang katanya pernha mereka miliki, sudah menjadi semacam mitos yang sakral. Seorang pengarang jenius sekalipin akan berpikir seribu kali bila ingin bermain-main dengan itu. Sementara komik adalah media informatif yang bersifat menghibur. Bila unsur jenaka, iseng serta kenaklan khas anak-anak tidak ada, di mana letak hiburannya?

Kita lihat misalnya komik keluaran Elex Media Komputindo (ELM) yang kebanyakan berasal dari Jepang, rata-rata berlatar-kisah yang lebih "jelata" sifatnya. Unsur kehidupan orang-orang biasa sehari-hari begitu dominan serta dijalin manis dengan fantasi. Doraemon dan Nobita sama sekali bukanlah superhero Jepang. Doraemon adalah kucing ajaib dari abad 22 sedang Nobita adalah bocah Jepang kebanyakan. Petualangan mereka juga hanya berkisar di sekitar sahabat-sahabat di dekat rumah mereka. Nobita dan Doraemon sebagai tokoh sentral juga bukanlah anak-anak yang sangat arif tanpa cela. Mereka tampil sebagai bocah polos yang punya keinginan dan kenakalan anak-anak. Bahkan sangat sering Nobita menyalahgunakan keampuhan benda ajaib dari kantong Doraemon untuk gagah-gagahan di depan teman-temannya karena Nobita sebenarnya bocah penakut.

Sering pula Nobita menggunakan cara-cara "licik" untuk menarik perhatian Sizuka (teman perempuan-nya). Jadi sekalipun penuh dengan cerita khayal namun tingkah polah para tokohnya adalah kelakuan kanak-kanak. Tanpa kesan menggurui Doraemon bisa menghibur anak-anak, bahkan dianimasikan dan diputar setiap Minggu oleh RCTI. Tanpa langsung menunjuk bahwa tidak mengerjakan PR itu tidak baik, sebetulnya komik itu mengajarkan agar anak-anak berdisiplin. Misalnya ketika alat dari Doraemon lagi tidak berfungsi Nobita kelabakan. Pesan bahwa usil pada teman tu tidak baik cukup ditampilkan oleh sosok Giant yang ditakuti teman-temannya tapi begitu ketakutan bila dimarahi ibunya. Ringkasnya kisah Doraemon berhasil menarik minat anak-anak, menghibur dengan pesan-pesan yang tidak menggurui. Tentang khayalan seekor kucing dari abad 22, ternyata anak-anak tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak wajar. Sebab mereka sekarang sudah cukup pandai dan tahu bahwa itu hanyalah komik. Dalam keseharian pun mereka juga punya fantasi yang hampir sama.

Tokoh dalam komik Jepang juga bukan selalu penegak hukum. Tersebutlah Kapten Kid yang bergelar Si Penguasa Laut. Dia seorang bajak laut yang selalu memburu harta karun. Namun petualangannya penuh dengan selingan persoalan yang manusiawi. Ia mudah jatuh cinta karena sejak kecil tidak merasakan kasih ibu. Kid juga takut ketika terjebak di rumah J Stuart sang penjaga lautan, sheriff Bay City yang sudah pensiun dan membuka toko bunga. Padahal anak gadis sheriff adalah sahabat Kid. Sekalipun bajak laut, Kid juga pecinta keadilan, karena keadilan memang tidak harus identik dengan orde ketertiban ciptaan sang penguasa penegak hukum. Sungguh wajar, karena orang di bawah kekuasaan yang bagaimana pun, orang senantiasa mendambakan keadilan. Kid adalah tokoh yang meski ciptaan Hiroshi Uno (pasti orang Jepang) namun berkeliaran di Karibia, kawasan yang juga pernah dikuasai Barbarosa si Janggut Merah Penguasa Tujuh Lautan. Latar cerita berada di abad yang tidak jelas meski dari perlengkapan pakaian para tokohnya dan kapal layarnya pastilah tidak lebih dari abad 16. Namun gambaran lainnya sering lebih cocok dengan abad kita. Ramuan campur-aduk yang sebetulnya rumit itu ternyata cukup digemari. Jadi khayalan yang terjalin bagus dengan kenyataan sehari-hari--- yaitu dambaan akan keadilan, keperkasaan melawan kesewenangan hukum, kelembutan dan juga keriangan manusiawi ---bisa menjadi hiburan yang menyenangkan.

Komik yang sebetulnya sarat nasehat dan penuh renungan namun digemari oleh tua dan muda adalah Chinmi. Jika tidak berbentuk komik, berbentuk roman misalnya, pastilah panjang, bertele-tele dan membuat kening berkerut. Namun karena disampaikan dengan menarik pemnbaca tidak merasa digurui agar bekerja keras, berkonsentrasi, melawan kebatilan, dan sebagainya.

Sering terdengar kekhawatiran tentang akan hilangnya budaya asli anak-anak karena terpengaruh oleh komik impor. Kekhawatiran semacam itu menurut pengajar dan pendidik J. Drost tidaklah beralasan karena kebudayaan anak bersifat internasional. Persoalan budaya asli baru muncul ketika anak menginjak dewasa. Tidak pada tempatnya bila menganggap orang dewasa juga akan mengalami persoalan seperti itu. Anggapan ini terlalu menganggap bodoh oranga lain. Jadi bisa disimpulkan bahwa pengaruh komik impor tidak perlu dicemaskan. Toh ajaran yang dikandung komik itu universal sifatnya: kalahnya kebatilan melawan kebenaran dan semangat untuk mepertahankan sampai kapan pun dan bagaimana pun dunia ini adanya.

Komik juga bagus sebagai media memahami sifat-sifat khas dan mungkin juga hasrat keinginan bangsa dari mana komik yang bersangkutan berasal. Meski mungkin anak-anak tidak akan mudah memahaminya, namun dengan bantuan orang yang lebih dewasa mereka akan mengerti pelan-pelan. Di samping memuat nilai-nilai yang universal, sadar atau tidak, pencipta komik menyelipkan warna lokal mereka.

Hasrat orang Amerika akan adanya superhero yang perkasa namun juga rendah hati diwakili dengan bagus oleh Clark Kent, seorang reporter Daily Planet yang pemalu. Tapi dalam keadaan mendesak ia akan mencari tempat tersembunyi dan mengubah diri menjadi Superman, jagoan Krypton tak terkalahkan. Setelah selesai beraksi ia kembali menjadi reporter naif. Sedangkan keinginan Amerika mempunyai satuan tangguh patriotik diwakili oleh GI Joe. Sifat baik hati dan dermawan golongan kaya (kapitalis?) ditunjukkan oleh Bruce Wayne yang bisa berubah menjadi Batman. Namun sang hero Batman dalam tugasnya tetap dibantu oleh seorang biasa, malah dari kalangan rendah, Alfred, pembantunya yang sangat pandai, bahkan terlalu pandai untuk seorang pelayan. Komik Amerika memang melukiskan dunia superhero baik hati pembela kebenaran. Namun hasrat dan kehendak manusia tidak harus selalu sesuai dengan kenyataan yang ada. Dan dalam komik, hal itu wajar saja, karena seperti sudah saya katakan sebelumnya, komik memang media hiburan.

Hasrat orang Perancis yang selalu ingin bebas --- bahkan cenderung melecehkan ketertiban --- bisa anda baca dengan jelas pada kisah petualangan Asterix (teks oleh Gosciny dan gambar oleh Uderzo). Cerita ini seolah mewakili ujaran Albert Camus: "Kebebasan tidak akan ada begitu saja, tapi harus direbut." Kisah Asterix menggambarkan sebuah desa mungil yang membanggakan perlawanan tak berkesudahan pada kekuasaan Imperium Romawi di bawah Julius Caesar, kira-kira 50 SM. Bayangkan, sebuah dusun melawan Imperium maha perkasa di zamannya. Di akhir kisah selalu digambarkan pesta pora minum-minum merayakan keberhasilan mempecundangi Romawi. Nah, siapa yang akan menyangkal kemasyhuran anggur Perancis? Asterix seolah mengartikulasikan kehendak orang Perancis (mungkin juga masyarakat Quebec di Kanada) untuk mempertahankan kebudayaan mereka di tengah himpitan budaya berbahasa Inggris. Dalam cerita bergambar ini juga bisa ditangkap kerinduan orang Perancis pada sejarah masa lalu mereka yang unggul. Dalam kisah Asterix dan Cleopatra ada sebuah adegan Asterix sedang berpamitan pada ratu luar biasa cantik setelah berhasil membangun istana demi memenuhi ambisi sang ratu untuk tampil lebih hebat dari bangsa Romawi yang menaklukkan Mesir, "Bila suatu hari nanti Yang Mulia ingin membangun terusan antara Laut Merah dan Laut Tengah, misalnya, panggillah salah seorang dari kami."

Pembangunan Terusan Suez adalah Ferdinand de Lesseps, berkebangsaan Perancis. Adegan ini menunjukkan perpaduan antara sejarah dan fantasi dengan bagus. Orang dewasa yang mengerti maksudnya pasti tersenyum.

Eropa adalah gudang para filsuf dan merupakan benua yang punya peradaban sangat panjang. Dalam kisah Asterix sering bisa dilihat betapa ujaran para filsuf dimain-mainkan. Misalnya, dalam kisah Asterix Menjadi Prajurit Romawi dilukiskan bahwa untuk masuk markas Scipion (musuh Julius Caesar di Afrlia) harus mengucap kata sandi "je suis pense, donc je suis." Kalimat ini berasal dari Descartes yang terkenal, "saya berpikir maka saya ada". Lucunya Obelix yang orang Perancis malah lupa kata itu. Juga pasukan Romawi yang (digambarkan) tolol, sering mengucap kata "gnoti seauton". Mungkin hal-hal seperti itu bisa ditafsirkan sebagai kejemuan orang Perancis pada peradabannya yang tua. Sering kali orang yang mengutip kata-kata Latin justru dilukiskan sebagai pihak yang kalah terus. Justru warga Galia yang urakan, pembangkang, gemar berkelahi, suka hura-hura, mudah marah namun suka bersahabat itulah pemenangnya. Seakan dongeng Asterix itu ingin mengatakan "Ikutilah nalurimu!" (Alangkah posmonya!). Tulisan ini tak akan cukup untuk menunjukkan betapa sangat banyaknya hal-hal penting yang terselip dalam dongeng konyol-jenaka yan sangat digemari anak-anak tersebut.

Keinginan orang Jepang untuk mengunggulkan filosofi Timur terekam jelas pada komik-komik yang bertebaran dengan aneka renungan. Sampai-sampai Fishing Fun, komik yang bercerita tentang bocah yang jago mancing mengandung petuah filosofis tentang kesabaran manusia mengalahkan hasrat dirinya. Dalam Chinmi si jago kungfu digambarkan dengan bagus bagaimana seorang bocah yang tekun berlatih dan bersemangat baja berguru mencari kesempurnaan ilmu. Dalam petualangannya Chinmi sering bertarung, sering kali jurus andalan ditemukan justru ketika sedang bertarung. Betapa gigihnya orang Jepang! Bahkan Chinmi yang mungil dengan kungfu peremuk tulang mampu mengalahkan petinju barat yang bertubuh raksasa. Dari sini tergambar jelas keinginan Jepang untuk menghajar Barat yang jauh lebih besar. Ada lagi satu mimpi komikus Jepang yang menggelikan: mereka selalu menggambarkan tokohnya bermata lebar, sangat lebar!

Nah, jika anak-anak bisa menyerap hal-hal tersebut, paling tidak wawasan mereka bertambah luas. Bagus atau buruknya adalah konsekuensi dari kenyataan bahwa di dunia ini tidak ada yang sempurna, lalu mengapa kita merasa sok paling sempurna? Mungkin juga bisa diharapkan pengertian bahwa masing-masing bangsa punya karakter dan tabiat yang berbeda-beda, tapi bagaimana pun toh kita tetap sama-sama manusia. Jika harapan itu terlalu tinggi, cukuplah anak-anak merasa merasa terhibur, tertawa tanpa dibebani nasehat verbal seperti suguhan komik lokal sebagai akibat kebijakan bahwa segala gerak bangsa ini harus sejalan, selaras, serasi dan seimbang dalam mencari bla-bla-bla-bla. Anak-anak sudah muak dengan kewajiban di sekolah yang menamakan ini dan itu. Jangan lagi dunia fantasi mereka yang disalurkan dengan membaca komik masih juga dijajah dengan rentetan petuah.

Pada masa lalu komik lokal masih bisa memainkan fungsinya sebagai legitimator nilai-nilai luhur nenek moyang yang memberikan wawasan kesejarahan. Tapi rupanya masyarakat sekarang tidak lagi memerlukannya. Bila komik terjemahan ternyata bisa memenuhi kebutuhan anak-anak kita, lalu apa masalahnya? Bila meresapnya nilai-nilai universal maupun lokal pada diri anak-anak bisa membangkitkan kreativitas anak, rasanya kecurigaan kita pada komik luar negeri terlalu berlebihan. Bukankah itu lebih bagus dari pada anak-anak tidak merasa nyaman dengan khutbah bergambar, atau pelajaran sejarah bergambar yang coba ditawarkan komik lokal?

Kita memang perlu menggairahkan kembali kehidupan komik lokal. Jika memang harus meniru, apa salahnya? Bukankah untuk belajar kita tidak diharamkan mengambil sesuatu dari luar? Ungkapan "galilah dari bangsa kita sendiri" benar sejauh kita memang punya sejarah komik yang panjang. Ada yang mengatakan bahwa kita punya juga sejarah perkomikan kuno, misalnya relief Ramayana pada candi Prambanan, atau wayang beber. Bagi saya pribadi, anggapan ini menggelikan. Lebih baik kita terbuka untuk mengakui kekurangan kemudian belajar pada yang lebih mampu.

Meniru yang bagus berarti tampil lebih bagus lagi. Sebab ukurannya sudah pasti, yaitu apa yang sudah ada terlebih dahulu. Meniru tidaklah harus menjiplak bulat-bulat. Bisa juga kita menggali tema yang ada di sini. Ini sudah dilakukan oleh Dwi Koendoro dalam membuat komik Panji Koming yang punya kemiripan dengan Asterix. Di sini pasangan Asterix dan Obelix mirip dengan Pailul dan Koming dalam karakternya. Asterix dan Koming sama-sama orang berperawakan kecil namun cerdas. Obelix dan Pailul sama-sama orang gendut dan pandir. Tokoh penguasanya sama-sama ditandu, hanya saja dalam Asterix tandunya adalah perisai. Dan komik Dwi Koen ini ternyata cukup disukai. Kalaupun dicari-cari, ada juga kelemahannya, tapi rasanya itu bukan salah Dwi Koendoro. Sebab memang sulit mengemukakan banyolan bebas di negeri ini. Kekurangan yang lain, komik itu memang bukan untuk anak-anak. Orang dewasa pun tidak jarang harus berpikir untuk mengerti maksud ceritanya.

Ada juga karya yang ditampilkan Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), tentu saja bukan komik, tapi film kartun "khas Indonesia". Semua pihak tampaknya menyambut gembira kehadiran Satria Indonesia. Kartun ini berusaha menampilkan jagoan negeri: berpeci, dan bila berubah menjadi semacam Superman ia mengenakan kain merah putih dan di dadanya ada bintang Gatotkaca. Memang hanya waktu yang bisa membuktikan apakah ia akan bisa menghajar Ksatria Baja Hitam, karena usia Satria Indonesia masih baru. Nah, meniru karya asing yang sebenarnya sangat dibenci oleh pelestari budaya kita, toh dilakukan juga. Biarpun pakai atribut khas Jawa, siapa pun tahu bahwa ia mirip Superman. Juga kelahiran musuh sang satria yang dekat-dekat dengan laboratorium, apalagi ditambah dengan terbakarnya laboratorium cukup mengingatkan pada Lex Luthor.

Sebagus apapun, materi atau isi komik akan terseok-seok bila tidak diimbangi dengan penampilan yang menawan. Daya tarik komik memang gabungan antara teks yang menarik dan gambar yang bagus. Meskipun tampil dalam hitam putih, komik Jepang tetap bagus visualisasinya karena kuat dalam ekspresi tokohnya. Raut muka yang menggambarkan rasa sakit, lelah, cemas terasa kental. Lebih dari itu deretan ilustrasi komik laga seperti Chinmi dan Kenji ternyata mengikuti kaidah sinematografi: wajah dilukis close-up, lanskap dilihat dari atas; juga penampilan kotak gambar yang sering tidak urut. Kadang ada juga gambar yang tidak diberi kotak pembatas. Rasanya seorang sutradara tidak akan menemui banyak kesulitan bila memindahkan komik tersebut ke dalam film, karena sekuen yang ada sudah mirip dengan film.

Atau kalaupun tidak demikian, komikus Jepang mengandalkan gambar yang sangat sederhana namun sangat mudah dimengerti. Karena ekspresinya yang kuat maka kesederhanaan komik Kobo Chan bisa tertolong. Jelas sekali tergambar keluguan seorang bocah yang sering sulit dimengerti orang dewasa. Kesederhanaan mungkin letak keunggulan Kobo Chan. Namun mencapai kesederhanaan memang tidak gampang.
Sedangkan komik yang aslinya berbahasa Perancis cenderung mengandalkan detil dan kekayaan warna-warni. Ilustrasi dalam Asterix yang dikerjakan Uderzo adalah contoh yang jelas. Sangat bagus bagaimana Uderzo menggambarkan indahnya kehijauan alam Korsika (dalam kisah Asterix di Korsika), juga kemalasan orang-orang Korsika yang diperkuat dengan detil yang menggambarkan betapa pemalasnya anjing-anjing Korsika. Dalam pertempuran antara Galia dan Romawi, di sudut gambar ada sekeluarga burung hantu yang pindah rumah: sang kepala keluarga burung bersungut-sungut sambil memanggul buntalan. Rincian lucu yang penuh semangat bercanda! Dalam kisah Mawar dan Pedang Bermata Dua, ketika Assourancetorix menyanyi, seekor burung yang ketakutan kabur sampai menerjang garis pembatas, sehingga burung camar di kotak sebelah yang berpemandangan laut pun kebingungan. Tidak lumrah, tapi mengundang tawa bila kita cukup cermat memperhatikan detailnya. Itu mendatangkan rasa lucu tersendiri! Kehebatan lain pada komik Perancis adalah separasi warnanya yang memukau. Dalam komik Komando yang berlatar belakang Perang Dunia Kedua, penggambaran juga sangat rinci. Jules, sang ilustrator, melukiskan pernik-pernik seragam polisi militer dengan cermat. Tanda-tanda yang tak terbaca jika tidak dicermati pun ditulis dalam bahasa aslinya.

Tentang ekspresi, lihatlah komik kanak-kanak Smurf misalnya: Anda akan temukan kesungguhan dalam penggarapan rupa. Dalam soal ini, tak bisa kita lewatkan kesungguhan para animator film kartun Walt Disney. Relevan saja membicarakan film animasi di sini, karena film tersebut diangkat dari cerita bergambar yang sudah banyak dikenal sebelumnya. Hanya untuk membuat ilustrasi karpet terbang Aladin, si ilustrator sampai-sampai harus pergi ke Persia untuk sekedar melihat karpet yang sesungguhnya. Untuk melukiskan Belle dalam Beauty and The Beast si penggambar harus ikut kursus menari Walz. Ia pun harus mengenakan jubah seperti yang dipakai Beast ketika harus melukis Beast. Untuk mendapatkan penampilan prima dari seekor singa dalam The Lion King ilustratornya bersedia bersusah-susah mengamati gerak-gerik seekor singa. Kurang jelas apakah ada hubungan yang logis antara tindakan-tindakan tersebut dengan hasil yang diperoleh. Tapi jelaslah, untuk mencapai yang terbaik diperlukan keseriusan yang tidak main-main.

Jadi antara kematangan konsep yang menyangkut isi serta runtutan kisah yang logis yang dipadukan dengan kerja artistik yang seriuslah yang akan mengjasilkan komik indah. Menikmati komik bukan hanya membaca teks, tapi juga menyimak deretan gambar. Kedua hal itu saling mendukung, saling melengkapi. Sebagai misal, komik Jepang boleh saja kering dalam ilustrasi, tidak serinci dan sindah komik Perancis, namun komik Jepang ditopang oleh keterangan tertulis yang enak dibaca dan kaidah sinematografi yang tepat.


Pemasaran Komik

Peredaran komik tidak hanya bersandar pada mutu komik tersebut saja. Sekarang larisnya komik juga ditopang oleh jalinan produksinya. Komik-komik Walt Disney kian naik daun setelah diangkatnya berbagai cerita bergambarnya dalam film kartun layar lebar. Popularitas Aladin, The Little Mermaid, dan The Lion King semakin menggila karena film mereka. Ditambah lagi dengan buku-bergambar-untuk-diwarnai bagi anak dengan tema yang sama, serta jam, tas dan alat sekolah yang berlogokan tokoh-tokoh Disney. Juga boneka-boneka kecil tokoh-tokoh tadi, dan opera semisal World on Ice.
Tak kalah semarak adalah promosi komik-komik Jepang. Banyak terdapat di pasaran kaos bergambar Ksatria Baja Hitam, begitu pun tas dan alat-alat sekolah. Promosi yang gencar seperti itu tak bisa diingkari akan mengekalkan citra dalam benak anak-anak. Sehingga kecintaan mereka terhadap para tokoh komik itu makin tebal saja. Tentu saja hal ini berkaitan dengan sistem pemasaran canggih bermodal raksasa.


Bangkitnya Komik Indonesia

Seperti sudah saya sebut, kehadiran komik asing tak perlu diributkan. Tapi komik lokal tetap perlu dikembangkan lagi. Dengan semaraknya komik Indonesia siapa tahu bisa terungkap lebih dalam sebetulnya apa yang menjadi persoalan dalam keinginan orang Indonesia, bagaimana karakter orang Indonesia. Tentu saja banyak buku teks yang mengulas hal demikian. Tapi bila itu bisa dijabarkan melalui media komik, betapa hebatnya!
Komik Indonesia bisa menjadi media informasi yang menghibur sekaligus media hiburan yang informatif. Seperti halnya komik impor, seuniversal apapun nilai yang dibawa, ia tetap mengandung muatan lokal. Kita tak perlu bermimpi memperkenalkan muatan lokal itu pada pembaca asing. Menjabarkannya bagi pembaca bangsa sendiri saja sudah bagus.

Tidaklah adil bila kita mengatakan tidak ada komik Indonesia yang bagus. Komik buatan Dwi Koen yang dimuat di majalah Humor, Sawung Kampret, sebenarnya cukup bagus. Hanya sayang Sawung Kampret tidak tampil penuh warna, sebab dengan penuhnya ruang gambar warna hitam putih membuat komik jadi terkesan suram. Lain halnya kalau Dwi Koen menyisakan banyak bagian yang kosong seperti pada komik-komik Jepang. Ruang kosong itu bisa dibiarkan atau pun diramaikan oleh garis-garis lurus atau lengkung.
Sesungguhnya Sawung Kampret yang mengisahkan jalinan persahabatan antara pribumi dan orang Belanda yang penjajah waktu itu, mengandung gagasan yang sungguh cerdas. Hanya masih ada yang mengganjal, yaitu kekuatan naratif yang kurang terkendali. Juga ide ceritanya kurang jenial. Tapi kemampuan menggagas dan menuangkan cerita sebaiknya dipisahkan dari kemampuan menggambar. Dua kemampuan itu bisa saja ditangani oleh satu orang dan tetap bagus. Ini ditempuh oleh komikus Jepang. Tapi ya itu tadi, gambar yang dihasilkan terasa kering dan kurang indah. Rata-rata komik Perancis dikerjakan oleh pencerita dan ilustrator yang berbeda. Sebagai contoh : Asterix dikerjakan oleh Gosciny pada teks dan Uderzo bertindak selaku ilustrator. Dalam Komando Lebovic mengurusi narasi dan Jules menuangkannya dalam gambar. Pada Lucky Luke: Morris yang menggambar dan Gosciny yang bercerita. Untuk komik yang “kurang berat“ biasanya memang cukup dikerjakan oleh satu orang, misalnya Smurf oleh Peyo sendiri. Tapi komik yang begini kurang mendapat tempat jika si anak sudah beranjak dewasa. Menggagas dan merangkai cerita bukanlah hal mudah bila ingin mencapai hasil maksimal. Diperlukan studi yang mendalam untuk menghasilkan kelincahan memainkan fantasi dan realita, agar tidak kedodoran dan tampak dungu. Entah berapa buku yang harus dibaca Gosciny untuk mengerjakan komik mbambung semacam Lucky Luke yang mempermainkan dengan enaknya sejarah Amerika. Juga bukan pekerjaan gampang untuk membuat Asterix menjadi bahan bacaan berdimensi ganda, dalam arti tiap jenjang usia bisa tertawa oleh pelbagai sebab. Seorang bocah yang membaca Asterix mungkin akan tertawa melihat gaya Obelix mempermak tentara Romawi, tapi ia pasti tidak mengerti di mana lucunya ketika Obelix berkata “singularis porcus” ketika menyebut babi hutan kegemarannya. Atau ketika Asterix dan Obelix bermalam di kandang kambing, mereka berdua bertanya pada teman seperjalanan mereka, “Apa nama tempat ini?” Dan si teman menjawab, “Bethlehem.”

Komik memang bukanlah khusus untuk anak-anak. Namun seandainya Sawung Kampret dibukukan begitu saja, artinya dalam bentuk yang hadir di majalah Humor, tentu anak tidak menyukai keburaman yang ada dalam komik itu. Juga alur cerita yang kurang lancar membuat anak harus mengerutkan kening dan kemudian memilih komik yang lain.
Yang juga penting adalah perhatian terhadap daya fantasi kanak-kanak. Sekalipun kemasannya serius, seperti Si Janggut Merah, namun substansinya menawarkan fantasi bajak laut budiman yang malang melintang mempermalukan armada Spanyol atau Inggris. Bertualang mengarung tujuh lautan sungguh merupakan impian tentang kejantanan, yang diselingi dengan kebaikan budi. Fantasi kanak-kanak tampaknya lekang dengan bertambahnya usia. Di tempat persewaan buku atau toko buku, bisa anda lihat lihat seorang dewasa membaca komik. Ketika Batman difilmkan, ternyata bekas anak-anak yang dulu menggemari Batman masih bersemangat menonton filmnya. Bayangkan apa jadinya bila kisah Terjadinya Kota Banyuwangi yang difilmkan! Bisa kita tebak hasilnya.
Orang dewasa pun tetap punya fantasi kanak-kanak, disadari atau tidak. Atau paling tidak ada rasa rindu pada sesuatu yang riang, keriangan seorang anak. Itulah sebabnya seorang dewasa tetap membaca Donal Bebek. Tapi cobalah sodorkan komik Gareng, Petruk dan Bagong yang berusah tampil dalam kemasan guyon pada anak-anak. Pasti mereka sulit tertawa melihat gerutuan orang dewasa yang sama sekali tidak lucu itu.

Akhirnya harus diakui bahwa jalan panjang masih menunggu maraknya kembali komik Indonesia. Bisa saja komik pribumi sebagus komik asing, bahkan menyaingi atau pun melawannya, tapi untuk apa? Bagaimana pun kemenangan David melawan Goliath hanya adadalam kitab orang-orang terdahulu. Bisa memang kita menyaingi karya impor yang bersejarah panjang itu asal kita punya ramuan berkhasiat Panoramix.[]


Selintas Sejarah dalam Komik: Belajar dari Asterix
Setelah melalui pertempuran sengit, para prajurit Romawi berhasil pemberontakan bangsa Galia yang dipimpin oleh Vercigentorix yang perkasa. Julius Cesar duduk di kursi di tengah lapangan menerima penyerahan pedang Vercigentorix sebagai simbol takluknya suka Galia. Ternyata tidak hanya sebilah pedang, namun aneka senjata menimpa kaki Caesar sehingga ia menjerit kesakitan. Tentu kejadian yang sebenarnya tidaklah persis seperti itu. Kejadian itu hanya ada dalam salah satu kisah Petualangan Asterix yang berjudul Asterix Prajurit Galia. Komik atau cerita bergambar ini memang mengambil latar belakang dikuasainya Galia oleh Romawi. Hampir dalam semua buku cerita Asterix selalu didahului oleh untaian kata yang berbunyi, “Kita kembali ke trahun 50 SM,” Zaman itu seluruh Galia dijajah oleh Kekaisaran Romawi. Seluruhnya? Tidak! Ada suatu pemukiman Galia yang selalu terus menerus melawan. Garnisun-garnisun dari Legiun Romawi yang bermarkas di Babaorum, Aquarium, Laudanum dan Petitbonum menderita karenanya. Sekali lagi itu adalah awal dari sebuah komik. Dari segi makna, komik yang berasal.dan bahasa Perancis comique atau comic dalam bahasa Inggris berarti lucu. Sehingga berlebihanlah bila menuntut validitas sejarahnya secara ilmiah. Tapi mari kita lihat dulu apa kata sejarah yang sebenarnya: Setelah melalui pertempuran merebut pusat kekuatan militer serta hutan belantara, (hagi Julius) Galia nampaknya sudah tak berbahaya dan ia tanpa khawatir meninggalkan daerah tersebut. Anggapan yang salah besar! Pemberontakan bergolak hebat dan didukung oleh para dukun serta pemuka seluruh kota besar y·arig dipimpin oleh pemimpin muda Arverna, Vercingetorix, yang menggalang persatuan dengan susah payah. Ringkas cerita, menurut sejarawan Pierre Leveque, Julius Cesar segera menyeberangi Cevennes yang berselimut salju dan memperoleh ketenangan, namun di Gergovia ia menderita kegagalan yang selalu dikenang.

Dari sini bisa disimpulkan bahwa sejarah bisa pula diangkat ke dalam komik yang berkecenderungan tidak serius dan penuh banyolan. Lucu bukan hanya dari bentuk karikatural fisik tokoh-tokohnya, namun juga dialog serta jalan ceritanya yang terkesan mempermainkan sejarah. di sinilah letak keberhasilan komik Asterix. .
Bukankah cerita komik bisa diambil dari apa saja? Artinya tidak harus dari kisah sejarah, kisah yang henar-benar terjadi. Memang. benar. Namun sebagai bacaan yang digemari anak-anak maupun orang dewasa, selain mengemban fungsi menghibur, komik sebenamya juga bisa mendidik. Melalui gambar komik, isi pendidikan tentu saja akan lebih.mudah diterima. Selama ini memang sudah.ada visualisasi pengetahuan sejarah, termasuk yang buatan Indonesia, dalam berbagai ragam. Ada yang serius mengikuti pakem. seperti. Penyerbuan Normandia, .Sir Winston Churcil, De Gaulle (dari luar negeri), dan Pangeran Diponegoro, Untung Surapati (dari negeri kita). Ada pula yang mengisahkan epos Mahabarata, Ramayana atau legenda rakyat semacam Asal Mula Kota Banyuwangi. Sayang sekali, yang bikinan daIam negeri terasa.kering, terlalu sarat pesan verbal.

Ada. pula yang terkesan memplesetkan sejarah; misalnya Lucky. luke yang. malang melintang dalam rentang sejarah Fat West. Asterix, seperti yang telah disebut di depan, termasuk dalam kategori ini. Kisah yang berlatar kejayaan Julius Caesar itu walau terkesan main-main, jika dicermati ternyata punya rujukan yang absah.
Asterix xdalah komik yang mampu menimbulkan berbagai persepsi kelucuan bagi tiap segmen usia pembacanya. Anak-anak boleh jadi hanya tertawa melihat kelucuan tokoh-tokohnya dalam menghajar serdadu Romawi. Orang dewasa, setelah merenungkan, mungkin tertawa karena kecerdasan Gosciny dalam menuangkan ide-idenya yang nakal. Anak-anak menjelang dewasa yang penasaran dengan. suatu kisah yang berkaitan dengan sejarah bisa saja bertanya pada orang tuanya atau mencarl sendiri rujukanya dalam buku sejarah yang tentu saja, serius. Nah, bukankah yang begini ini merupakan satu bentuk pendidikan yang bagus. Baik itu pendidikan sejarah atau humanisme, sebab dalam cerita Astenx banyak terselip harapan untuk selalu hidup merdeka. Harapan yang dimiliki oleh bangsa mana pun di dunia.

Dalam kisah Asterix di Amerika dikatakan bahwa orang Galia adalah orang yang pemarah, tidak kenal takut kecuali pada langit yang akan runtuh, suka pesta pora, suka berkelahi tapi juga suka berteman. Orang tua yang bijak tentu bisa menjelaskan pada putra putrinya apakah orang Perancis benar berwatak demikian atau tidak. Apakah hanya tentang Perancis? Tidak! Sebab Asterix juga. ngelayap ke mana-mana hingga Mesopotamia, bahkan lndia.

Ketika membaca kisah Asterix dt Swiss,. banvak. sekali keterangan yang bisa ditambahkan. Di Swiss digambarkan orang taat sekali pada waktu, jelas ini mau menceritakan Swiss sebagai pusat industri arloji bermutu di dunia. Di situ digambarkan di Geneva tengah berlangsung Pertemuan kepala suku sedunia,yang membahas pelaksanaan Pax Romana, dan kini Jenewa merupakan tempat yang sering digunakan untuk menyelenggarakan KTT sedunia. Ketika diminta oleh tentara Romawi untuk; membuka brankas, Zurix sang pemilik bank tak mau melakukannya demi kredibititas banknya. Swiss merupakan tempat menyimpan uang paling digemari di dunia. Ketika menghadang prajurit Romawi, seorangveteran Swiss membalut luka orang Romawi setelah ia pukul. Ketika si Romawi heran si Swiss menjelaskan bahwa ia harus menolong korban perang dari pihak manapun, sekalipun si Romawi sudah ia hajar terlebih dahulu. Sejarah mengenal Henri Dunant, orang Swiss itu.sebagai pendiri palang merah.

Dalam.kisah Perisai Atverna, orang Galia akan marah bila ada yang menyebut kata Alesia. Sejarah mencatat, kiia-kira 60 SM pasukan Galia (sekarang Perancis) diporak-porandakan oleh legiun Julius Gaesar. Berharap ada. kapat yang melihat, Asterix berdiri di atas tumpukan batu sambil memegang obor dan lipatan kulit bison. Dalam Asterix Menyeberang Samudera di Amerika kita diingatkan pada patung Liberty, yakni hadiah rakyat Perancis untuk bangsa Amerika. Sekalipun demikian komik ini tidak mengklaim bahwa Astetixlah (yang berkebangsaan. Peiancis) yang, menemukan benua ini. Panoramix si dukun bijak tetap bingung ketika Asterix menjelaskan bahwa di seberang lautan ada daratan luas yang ada kalkunnya. Tahun 1475, Christophorus Colombus menemukan benua Amerika.

Dalam komik Asterix juga tampak kecongkakan.orang Perancis. Kecongkakan yang tak mau tunduk pada kekuasaan Romawi. Dan sampai hari ini terlihat jelas bahwa kebudayaan Perancis memang congkak. Artinya ia tetap gigih untuk merajai dunia sekalipun bahasa Inggrislah yang mendunia, dalam kenyataannya. Sekalipun wilayahnya sebaguan besar diduduki penjajah, sejarah mencatat setidaknya orang Perancis tetap melakukan perlawanan. Vercingetorix nekat melawan imperium Romawi menjelang abad masehi. Ketika Jerman menyapu seluruh Perncis dan mengambil alih jalannya pemerintahan kegigihan para pejuang bawah tanah tetap dikenang sampai sekarang. Sementara De Gaulla membentuk pemerintah tandingan di luar negeri.Bukan itu saja. Komik ini pun dengan lapang dada mengakui bahwa orang Galia bukan satu-satunya pemberani. Jelas dikatakan bahwa oraang-orang Viking adalah bangaa yang tidak kenal rasa takut sampai-sampai mereka harus menyerbu Galia untuk belajar takut (bacalah Asterx dan Orang-orang Normandia) Orang-orang Spanyol dan Inggris juga punya sekelompok pemberani. Batasan pemberaninya adalah bila membangkang pada Romawi. Bukankah. bangsa kita juga ada yang membangkang pada penjajahan Belanda? Semangat perlawanan dalam komik itu relevan dan bisa diterima di manapun, kecuali di negara asal penjajah.

Bisa sangat panjang kalau semua contoh dikemukakan. Singkatnya bila digarap dengan bagus, sejarah ternyata bisa jadi penyedap yang hebat. Mendidik sekaligus menghibur serta merangsang rasa ingin tahu. Tentu bagi anak yang tidak idiot.
Saya yakin komik bisa digunakan sebagai media pesan yang efektif. Sekalipun selalu ada biasnya. Ditunjang dengan gambar, apa yang akan disampaikan bisa jadi lebih jelas diterima. Bahasa gambar lebih mudah dimengerti dibanding bahasa tulis atau lisan. Bila ketiga bahasa tersebut digabung, bisa dibayangkan keampuhannya. Asalkan jangan sampai pesannya terlalu sok pintar. Ini tentu membuat orang berpaling. Lagak tolol yang ditawarkan komik kiranya biasanya menjadi pilihan menarik. Nilai sejarah dan kemanusiaan bisa disisipkan dalam komik tanpa mengganggu kelucuan.
Sejarah seperti yang selama ini kita kenal sebenarnya menyediakan banyak celah untuk digarap oleh komik. Karena sejarah masa kini cenderung menyorot para. figur sentralnya. Itu pun kebanyakan hanya pada peristiwa yang dianggap besar. Mana ada prasasti yang mengungkapkan penemuan Julius Caesar dengan seorang bocah dalam perjalanannya dari daerah taklukan kembali ke Roma? Banyak sekali detil kehidupan anak manusia yang. tak tercatat dalam sejarah. Ini. Dengan baik digarap, misalnya dalam Y B Mangunwijaya dalam sejumlah novelnya. Dalam khazanah komak kita apa yang.telah dilakukan Dwi Koen dengan Sawung. Kampret perlu.dikembangkan lebih jauh..Bila alur cerita dan kekuatan karakternya serta konsistensi pada latar waktunya diperbaiki boleh jadi komik yang muncul teraturt di majalah Humor itu akan mendekati kelucuan-cerdas Asterix.

Sumber : http://komikazemedia.tripod.com

You May Also Like

0 komentar